Nyanyian Sunyi Lumba-lumba di Selat Sempu

2022 Citizen Report Essay

Berawal dari satu sore yang lengang di atas Rumah Apung yang terletak di sisi Barat Selat Sempu. Setelah melakukan penyelaman selama seharian penuh, kami mengemas dan membersihkan peralatan kami. Memang terkadang tidak kerasa, energi kita terkuras diserap air laut selama seharian kita mengubek-ubek dasar perairan demi mencari sesuap data. Ya sudahlah, toh beristirahat sebentar tidak ada salahnya, apalagi sambil menikmati sore ditemani semilir angin Selat Sempu. Namun gak seberapa lama, suasana tenang yang kami rasakan diusik oleh beberapa tamu yang tanpa permisi lewat tepat didekat kami beristirahat. Serangkaian sirip punggung yang berbentuk sabit, timbul tenggelam diantara alunan rendah gelombang Selat Sempu. Sontak kami kaget, buru-buru mengambil kamera untuk merekam momen yang tidak terduga ini.

Kami terkejut, teringat akan sebuah diskusi santai dengan beberapa personil NGO yang berani manjamin kalau lumba-lumba tidak akan mau masuk ke Selat Sempu karena sudah nyaman mencari makan disekitar rumpon yang disebar oleh nelayan di tengah laut. Kehadiran sekawanan lumba – lumba yang melintas tepat didepan kami seolah-olah mementahkan pernyataan tersebut, sehingga bisa tidak bisa, jelas tidak jelas, kami ahrus merekamnya sebagai bukti otentik bahwa lumba-lumba masih mau masuk ke dalam Selat Sempu. Iya, mereka masih berlalu lalang disekitar Selat Sempu, dan hal inilah yang membangun semangat kita untuk mencari tahu lebih banyak tentang keberadaan mamalia laut ini di Selat Sempu.

Kawanan lumba-lumba di Timur Selat Sempu

Lumba-lumba, atau oleh masyarakat lokal Sendang Biru disebut dengan nama “babi laut” atau “iwak celengan” merupakan salah satu hewan yang dilindungi oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Selain itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menuangkan langkah-langkah kegiatan perlindungannya dalam Keputusan Menteri kelautan dan Perkanan Nomor 79 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Konservasi Mamalia Laut Tahun 2018 – 2022. Namun sama halnya dengan mamalia laut lain (dan biota laut pada umumnya) data mengenai keberadaan dan kemunculan mamalia laut yang satu ini sangat sangat terbatas di Indonesia. Penelitian yang ada belum banyak menjelaskan pola distribusi dan kaitannya dengan pengelolaan wilayah migrasi, berbiak, dan mencari makan hewan yang satu ini. Di Selat Sempu sendiri, keberadaan lumba-lumba belum terdeskripsikan secara ilmiah atau tertuang dalam laporan-laporan monitoring lembaga-lembaga terkait.

Maka dari itu, kami berkesimpulan bahwa solusi untuk menyebarkan pemahaman bahwa yang beraktivitas di dalam Selat Sempu ini bukan hanya manusia, tentunya harus melibatkan personil – personil yang terlibat dan memiliki aktivitas yang berhimpitan secara langsung dengan kehidupan liar di Selat Sempu. Citizen science adalah nama dari solusi itu (lihat: The Rise of Grassroots Scientists Movements: How the Future of Marine Biodiversity Might Lie in the Hands of Citizens). Kami tahu untuk tugas ini, tenaga kami saja tidak cukup untuk melakukan pengamatan yang nampaknya memerlukan effort yang lebih. Sehingga, kami menunjuk beberapa orang mitra yang bersedia untuk melaporkan kemunculan lumba-lumba di Selat Sempu selama Tahun 2018.

Lumba – lumba penyendiri yang sering terlihat di sisi timur Dermaga

Dari sebuah foto yang sedikit ngeblur dari kamera HP cina bekas, kami dapat menyimpulkan bahwa itu adalah sesosok lumba-lumba hidung botol. Pertanyaannya, lumba – lumba hidung botol yang mana? Semenjak tahun 2020, lumba – lumba hidung botol mengalami pemecahan jenis dari yang sebelumnya hanya terdiri dari Tursiops truncatus, kini lumba – lumba hidung botol memiliki jenis baru yakni Tursiops aduncus atau dikenal dengan nama Indo-Pacific Bottlenose dolphin. Wah, sudah dibuat keliyengan hanya untuk menemukan satu foto lumba-lumba yang nampak seekor penuh, kini kami harus memutar otak untuk memastikan identifikasi jenis dari lumba-lumba ini. Bayangkan, perbedaan kedua spesies tersebut terletak pada ukuran moncong dan bentuk dahi, yang hanya dapat ditentukan dengan pasti apabila kita mengambil foto dari jarak dekat! Lalu bagaimana bisa kita bisa mengambil foto jarak dekat terhadap suatu hewan laut yang kemunculannya saja masih coba kami raba-raba?

Foto pertama yang dapat menangkap tubuh lumba – lumba secara keseluruhan

Pikiran kami akhirnya terjawab pada suatu pagi, di Bulan Oktober 2018, dimana sebuah pesan Whatsapp masuk ke inbox kami. DIdalamnya terdapat lampiran seekor lumba – lumba yang terbaring di atas pasir, lengkap dengan pengukuran morfometri dan foto detail mulai dari kepala sampai ke ekor. Sontak kami sangat terkejut dan bersyukur, pertama keraguan kami akan terjawab melalui gambar tersebut, kedua, mitra kami yang notabene seorang nelayan, sampai paham untuk mengambil data morfometri secara mandiri. Wah, kami merasa seolah Dewa Neptunus sedang tersenyum kepada kami. Sontak, rejeki berupa data yang sangat kami nanti-nantikan tersebut segera kami analisis, dan hasilnya kami dapat memastikan bahwa jenis lumba-lumba yang ada di Selat Sempu, berasal dari jenis Tursiops aduncus. Temuan ini diperkuat dengan pola distribusi kawanan lumba-lumba di Selat Sempu yang tidak pernah jauh dari garis pantai, dan berada dalam jangkauan aliran sungai. Kebiasaan ini merupakan salah satu ciri khas yang membedakan T. aduncus yang cenderung menyukai habitat perairan inshore, dibandingkan dengan T. truncatus yang cenderung hidup di perairan offshore.

Lumba – lumba yang kami temukan terdampar di Selat Sempu.

Kini terjawab sudah, melalui data yang kami kumpulkan, kami berusaha untuk berkontribusi dengan menulis secarik paper ilmiah (bisa anda lihat disini) tentang keberadaan mereka di Selat Sempu. Semata kami tulis hanya untuk memberikan wawasan dan informasi bahwa Selat Sempu juga merupakan kawasan yang penting bagi migrasi beberapa jenis mamalia laut. Namun tetap, nyanyian lumba-lumba di Selat Sempu yang disunyikan oleh riuh rendah kapal-kapal perikanan yang berlalu lalang di kawasan ini kini membuat kita berpikir. Apa yang selanjutnya dapat kita lakukan agar lumba-lumba ini tetap dapat betah hidup diantara keramaian ini?


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *