Secara Ilmiah, Finding Nemo bukan Film Animasi untuk Anak – anak

2021 Essay

Peringatan! Tulisan ini mungkin dapat membuat anda bernostalgia, namun disaat yang sama juga akan membuat anda menyesal kenapa anda harus membaca hingga akhir. Dampingan orang tua tidak dibutuhkan, karena kalau anda merasa bernostalgia dengan film ini berarti sudah waktunya anda punya anak, cuk!

Finding Nemo merupakan salah satu film animasi garapan studio animasi kenamaan dari negeri Paman Sam, Pixar Studio. Studio ini merupakan salah satu pihak yang bertanggung jawab di dalam mewarnai masa kecil kita yang penuh fantasi dengan kisah – kisah yang sederhana, ramah anak – anak dan tentunya dibalut dengan visual yang sangat menarik. Setelah sukses memberikan “nyawa kehidupan” kepada mainan anak – anak lewat Toy Story, pada tahun 2003, studio yang sama mencoba untuk memberikan nyawa yang sama kepada hewan – hewan laut melalui film Finding Nemo. Usaha mereka memberikan “nyawa” kepada hewan – hewan laut ini nampaknya membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Bagaimana tidak? Selain berhasil membuat anak – anak dan orang tua mewek-mewek selepas meninggalkan pintu bioskop, film ini juga diganjar rating sebesar 99% oleh para kritikus film dari Rotten Tomato, sebuah angka fantastis dimana film sebagus Batman: The Dark Knight saja menjadi minder dibuatnya. Bahkan dari website Cinemascore, film ini memperoleh raitng A+, suatu pencapaian yang sangat langka dimana dari ribuan film yang diproduksi semenjak tahun 2000, hanya 53 film yang mampu mencapai nilai yang paripurna ini.

Oke, saya rasa cukup memberikan sudut pandang saya sebagai penikmat film, kini kita akan beralih menuju ranah ilmu saya, yakni biologi laut. Namun sebelum itu, terlebih dahulu kita harus mengetahui sepintas alur cerita film ini untuk masuk menuju ranah yang lebih ilmiah.

Singkatnya, Film Finding Nemo menceritakan mengenai Marlin, seekor ikan badut (clownfish) yang harus kehilangan pasangan dan telur – telurnya (kecuali satu, yang akan menetas menjadi Nemo) karena serangan seekor barakuda. Suatu hari, karena kelalaian Nemo, ia tertangkap oleh seorang penyelam dan dibawa menuju tempat antah berantah. Marlin, sebagai Ayah yang bertanggungjawab, memberanikan diri untuk mengarungi lautan luas dan melewati seluruh bahaya demi membawa anaknya pulang kembali menuju rumah mereka. Oke, dari sini mungkin tidak ada yang aneh, kan? Apa yang salah dari kisah seorang Ayah yang berjuang untuk membawa anaknya kembali dari penculikan? Tunggu dulu, pelan – pelan. Dibalik kisah yang haru ini ternyata ada rahasia yang sangat gelap yang mungkin tidak anda duga sebelumnya. Bukan, disini saya tidak akan membahas teori konspirasi yang beredar di dunia maya bahwa Nemo itu sebenarnya hanya khayalan Pak Marlin belaka. Teori yang berasal dari penerjemahan kata Nemo dalam Bahasa Latin yang berarti “ketiadaan” ini sepertinya terlalu malas bagi saya. Bisa jadi toh, kata nemo diambil dari penyunatan kata “Anemon”? yang mungkin diambil oleh pembuat film dari rumah ikan ini di dunia nyata maupun sebutan ikan ini dalam Bahasa Inggris (Anemonefish)?

Sepasang ikan badut di Selat Sempu. dok. pribadi, 2021

Meneropong Jalan Cerita Film ini Melalui Sains

Secara ilmiah, Anemonefish atau ikan badut, merupakan anggota dari keluarga Pomacentridae, yakni kelompok ikan – ikan berukuran kecil, berwarna cerah, dan hidup bergerombol yang mendiami perairan dangkal disekitar kawasan terumbu karang. Marlin dan anaknya, Nemo sendiri digambarkan sebagai ikan badut dari jenis Amphiprion ocellaris, salah satu ikan badut yang sangat umum dijumpai disekitar kawasan Perairan Indo-Pasifik. Ikan ini hidup bersimbiosis dengan anemone (hewan kerabat ubur – ubur yang hidup menempel di dasar perairan) dimana anemone tersebut melindungi ikan badut dari serangan predator, sementara ikan badut membantu untuk membersihkan anemon dari parasit. So sweet kan hubungan ikan ini dengan anemone yang menjadi rumahnya? Nah, ayo sekarang kita mulai bagian gelapnya.

Secara biologis, semua ikan badut dilahirkan dengan kelamin jantan. Ikan ini diketahui mengalami hermafrodit ptrotandri, dimana dalam satu waktu di fase kehidupannya, ikan ini mampu berubah kelamin menjadi ikan betina. Nah, kapan kira – kira ikan ini berubah jenis kelamin menjadi betina? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu memahami struktur sosial ikan ini terlebih dahulu. Ikan badut hidup berkelompok, dimana dalam satu kelompok hanya terdapat satu ikan betina yang biasanya memiliki ukuran yang paling besar. Struktur sosial ini dinamakan “maternal hierarchy” dalam Bahasa Inggris, dimana kelompok ikan tersebut dipimpin oleh ikan betina yang dominan. Nah, apabila ikan betina ini menghilang dari kelompok tersebut, (karena meninggal dimakan predator, atau pergi dan gak pulang – pulang) maka pejantan yang dominan akan berubah kelamin menjadi betina, dan menjadi penerus matriarki kelompok yang telah ditinggalkan oleh betina yang sebelumnya.  Nah, dari sini keanehan film Finding Nemo mulai terasa. Ternyata, Pak Marlin, bertaruh nyawa untuk mengejar Nemo dan membawanya pulang, karena ia sadar dalam waktu dekat ia akan berubah menjadi betina, dan harus menemukan pejantan supaya bisa ngent tetap melestarikan garis keturunannya! Bagaimana hal seperti ini dapat tersembunyi dibalik animasi anak – anak?

Oke… Oke… Anda mungkin menganggap saya terlalu menghubung – hubungkan, tapi perlu anda ketahui bahwa sebagian dari kru pembuat film ini juga telah menempuh kuliah singkat di bidang biologi laut, oseanografi, ichthyologi (ilmu ikan) dan bahkan menempuh pendidikan dunia penyelaman. Dengan kenyataan seperti ini, saya yakin bahwa mereka memahami hal tersebut, dan memilih ikan badut sebagai karakter utama bukan hanya dengan alasan bahwa kebetulan mereka lucu untuk dilihat.

Popularitas Nemo dan Kesalahpahaman Audiens

Film ini dibuat dengan salah satu tujuannya untuk mengenalkan dunia bawah laut kepada penikmat film, serta menghimbau penonton untuk tidak memlihara ikan laut secara sembarangan. Namun kenyataannya, pasca dirilisnya film ini menuju layar lebar, film ini justru mengakibatkan berbagai tekanan ekologis di beberapa wilayah di dunia. Popularitas ikan badut semenjak dirilisnya film ini membuat angka permintaan ikan ini melonjak hingga tiga kali lipat, bahkan di beberapa negara di Pasifik seperti Vanuatu, populasi ikan jenis ini menurun hingga 75% akibat dari penangkapan untuk dijadikan ikan hias. Di Amerika Serikat, para pemilik ikan hias air laut bahkan melakukan hal yang lebih ekstrim lagi. Karena terlalu meresapi perasaan ikan yang ada di film tersebut, sebagian pemelihara ikan hias air laut bahkan melepaskan ikan yang memiliki menuju perairan disekitar rumah mereka. Loh, bukannya bagus mengembalikan ikan ke alam liar? Loh… Tunggu dulu… Melepaskan ikan ke alam liar bagus apabila ikan dilepas ke habitat asalnya, di tempat dan ekosistem yang sesuai dengan kehidupan mereka. Melepas ikan hias yang berasal dari Pasifik menuju Perairan Atlantik justru memberikan dampak sebaliknya. Ikan alien ini justru akan mengubah keseimbangan ekologi setempat dan menjadi kompetitor ikan – ikan lokal di dalam merebutkan sumber makanan, wilayah tempat tinggal, hingga wilayah perkembang biakan. Di Amerika Serikat, sebuah laporan menyatakan bahwa dampak kerugian (ekologi dan ekonomi) yang ditimbulkan oleh keberadaan ikan invasif di negara mereka mencapai 137 miliar dollar tiap tahunnya.  Semua dampak ini tentunya berbanding terbalik dengan tujuan film yang mempromosikan cara memelihara ikan laut yang bertanggung jawab dengan memperlakukan ikan dengan benar dan tidak memelihara ikan yang memliki kemampuan adaptasi yang rendah.

… … …

Terlepas dari semua kontroversi yang ditimbulkan, dari kacamata biologi kelautan, film ini ternyata menyimpan sebuah rahasia yang mungkin cukup gelap untuk disembunyikan dengan balutan tokoh animasi dan jalan cerita yang membuai para audiens. Pemilihan spesies ikan yang menjadi tokoh utama dengan alur cerita yang demikian memang sedikit “keluar jalur” apabila dipandang dari sisi ilmiah. Coba saja jika ikan yang menjadi tokoh utama digambarkan sebagai ikan bandeng misalnya, mungkin keganjilan dari sisi ilmiah dapat diurai, dan juga mampu meningkatkan popularitas ikan bandeng untuk memajukan UMKM Bandeng Presto di kawasan Indo-Pasifik kan? Namun terlepas dari itu semua, saya sadar film ini hanya karangan fiksi belaka, dan apapun respon anda, tetap jadilah penikmat layar lebar  yang bertanggung jawab.

… … …

Sumber Tambahan

Allen, Gerard, Roger Steene, Paul Humann, Ned DeLoach. 2003. Reef Fish identification: Tropical Pacific. New World Publications, INC. Jacksonville, Florida.

Allen, Gerard R. 2020. A FIeld Guide to Tropical Reef Fishes of the Indo-Pacific. Tuttle Publishing: Western Australia.

Allen, G. R: Pomacentridae. Damselfishes (Anemonefishes). In: FAO species identification guide for fishery purposes The living marine resources of the Western Central Pacific Volume 5 Bony fishes part 3 (Menidae to Pomacentridae). 2001, FAO, Rome, 3354.

Frédérich, Bruno, Eric Parmentier. 2016. Biology of Damselfishes. Taylor & Francis Group, LLC: Boca Raton.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *